Kampung-kampung di tepi Banda basah dan belepotan.
Bercak-bercak kecoklatannya menodai pinggiran sepatu putihku.
Rintik-rintik menggantikan badai dari lampau,
Masih basah, masih lembab.
Kujinjiti batu-batu gunung kecil yang berserakan di sepanjang lorong.
Takut-takut tercelup sepatu putihku dalam danau-danau karamelnya.
Apalagi jika tersandung ke dalam lautan moccanya,
Atau tertelungkup ke dalam samudera penghasil beras di tepinya.
Jinjinganku masih terjinjing hati-hati; sekeranjang bayam, teri dan terasi.
Perlahan tanpa kepastian, gerutuku mulai menyanyi.
Payung hitamku goyang
Kerudung biruku pun, oleh rintik-rintik kecil, tercemari.
Hatiku berbisik,
“Tak lama lagi, pintu depan rumah sudah kelihatan.
Ayo, pelan-pelan jinjiti batu-batu,
Agar tak kotor sepatu,
Agar lekas tiba di situ.”
Kuintip awan kelabu dari balik payung,
Masih tebal, berat dan setia menghujani bumi.
Kebasahan yang tulus,
Seperti mata Bunda yang sedang menantikanku di teras rumah.
Cipratan-cipratan di tepi sepatu putihku semakin mencoklat,
Jinjitan hati-hatiku seakan tidak berarti apa-apa.
Tanpa bisa kutahan, kakiku tergelincir
Mataku mengabur dengan air mata, lalu menghitam
……
……
……
……
Bundaku melambai-lambai dari teras depan rumah.
Tak lama kemudian, Ayah pun keluar; ikut melambai.
Maka kubangkit,
Biar sepasang sepatuku kotor,
Dan aku pun melanjutkan perjalanan,
Kali ini, tanpa menjinjiti batu-batu lagi..
nb: bunda dan yanda, aku berjanji akan memberikan yang terbaik untuk kalian! insya Allah...
No comments:
Post a Comment