Udah pada beli kumpulan cerpen "Pengantin-pengantin Al-Quds" terbitan Pro-U Media belum? Kalau belum, ayo! Udah dari tahun lalu sih terbitnya, tapi insya Allah tetap semua royalti 100% disumbangkan untuk Palestina. Penulisnya? Sakti Wibowo, Akhi Dirman, Ifa Avianty, dll. Mengisi kebosanan menunggu waktu berbuka, yuk beli lalu baca! Di dalamnya ada cerpen saya. Berikut saya kasih baca cerpen saya, yang lain beli dulu bukunya baru baca ya! Hehe :)
______________________________________________________
Aku, Sabah, dan Sama
oleh: Nuril Annissa
sumber: kumcer "Pengantin-pengantin Al-Quds" (Pro-U Media, 2011)
“Aku
tidak ikut.”
Ain
menatapku sementara keningnya berkerut. Seolah ada sederet tanda tanya
besar-besar keluar dari kedua bola mata bundarnya mengerubungiku. Ah, aku tak
peduli.
“Kenapa?
Kamu tidak ingin menunjukkan empati atas derita yang dirasakan oleh saudara-saudara
kita di sana?”
“Empati
sih empati,” dengusku, “Tapi apa yang butuh empati cuma mereka di sana? Dalam
hematku, kita terlalu berlebihan dalam menyikapi isu Palestina ini, Ain.”
Ain
makin berkerut keningnya. “Maksud kamu?”
“Iya,
berlebihan.” Kumatikan setrika lalu duduk menghadapkan tubuhku sepenuhnya pada
Ain setelah meletakkan potongan kemeja terakhir dalam tumpukan pakaian lain
yang sudah rapi tergilas panas. “Menurutku ini tidak adil. Kita sibuk merutuki
Israel dengan kata ‘biadab’, ‘jahannam’, dan seterusnya. Sementara pemerintah
kita yang punya segunung borok itu tidak turut kita caci-maki dengan serapah
yang sama?”
Ain
tetap berkerut-merut. “Aku tetap tidak paham. Maksudmu apa?”
Aku
jeda menghela nafas. “Ain, lihat negeri kita ini. Apa kurang banyak orang
miskinnya? Apa kurang banyak orang pengidap AIDS-nya? Apa kurang banyak
tikus-tikus kantorannya? Buat apa kita sibuk mengurusi masalah negeri lain
sementara masalah di negeri kita sendiri saja belum bisa kita selesaikan? Itu
makanya menurutku aksi Palestina itu berlebihan!”
Mata
Ain berkaca-kaca sementara keningnya tidak lagi berkerut. Sambil menahan getar
di sela-sela bibirnya, ia berkata, “Rin, kamu masih ingat kan, video yang tadi
malam kita tonton di Youtube itu? Mereka butuh sokongan kita,
saudara-saudarinya seiman, seagama, seperjua…”
“Sudahlah,
Ain.” Kupotong cepat kata-kata Ain sembari merapikan tumpukan setrikaanku tanpa
memandang ke arahnya. “Intinya, aku memutuskan untuk tidak ikut aksi
solidaritas Palestina itu. Kamu boleh pinjam sepeda motorku kalau mau.”
Saat
kudongakkan kepala, tiba-tiba Ain raib dari tempatnya berdiri tadi. Bahkan
sepasang sepatu yang belum – tapi hampir – dikenakannya tadi pun tiada. Desir
angin menepuk pelan tengkukku sementara langit makin pekat mengepung rumah yang
kami berdua sewa ini. Langit juga memotret wajah bingungku dengan blitz yang
sangat banyak. Lalu blitz-blitz itu diikuti dentuman besar dari arah atas.
Seluruh vas bunga di atas buffet bergetar sementara aku merinding.
Kucoba
nyalakan lampu kibaskan gelap. Nyala, lalu padam lagi beberapa detik kemudian. Kipas
angin di sudut sebelah kiri ruangan juga berhenti berputar. Listrik padam. Angin
makin meniup tengkuk dan aku pun bertambah ciut. Ada yang tidak normal di sini,
pikirku. Gegas kutinggalkan ruang tengah tempatku menyetrika dari tadi. Kuayun
langkah menuju kamar tidur. Kaki dan tangan kurasa mulai dingin saat aku naik
ke atas ranjang dan menyelimuti diri dengan kain sarung. Langit di luar sudah
tidak lagi kelabu, tetapi hitam. Ia seperti menyeringai sementara aku bisa
mendengar gemerutuk di dalam mulutku sendiri. Aku takut akan segala sesuatu
yang dingin dan gelap.
Tiba-tiba
ada yang berderak kencang di sekujur dinding kamar. Makin berderak hingga
pelan-pelan lantai rumah retak terbagi dua. Retakan itu cepat menuju tempat
tidurku. Aku panik dan turun meloncat dari tempat tidur menabrak lemari.
Sikutku lecet menghantam sudut sementara
perutku nyeri menghantuk gagang pintu lemari. Derak-derak itu semakin kencang.
Botol-botol susu pembersih wajah dan parfum di atas meja berjatuhan masuk ke
dalam lubang menganga yang kini menjelma di antara aku dan ranjang. Atap rumah
kami mulai runtuh satu-satu gentingnya ditarik gravitasi tenggelam dalam lubang
menganga itu. Aku mendadak lumpuh terduduk bersandar di tepi lemari. Ingin
berteriak minta tolong tapi lidahku kelu sementara gebu-gebu di balik rusukku
menjadi-jadi. Piyamaku mendadak basah oleh peluh di seluruh tubuh. Lubang itu
kian menganga dan warnanya semakin pekat.
Aku
pasrah. Melihat kepekatan nganga lubang yang semakin melebar itu perutku keram.
Tanah terus berderak mengiringi jatuhnya meja belajar, rak buku, dan standing lamp dalam kamarku satu persatu
ke dalam lubang tersebut. Mendapati lubang menganga itu menuju lemari tempatku
bersandar, aku makin pasrah. Di atas kepalaku gelegar petir menyambar dan hujan
besar menabrak bumi menambah suram episode jelang penghabisan ini; kini aku
tidak hanya pasrah tapi juga kuyup basah. Tiba-tiba derak membuat pintu lemari
terbuka dan isinya berhamburan ke dalam lubang. Sepotong pashmina jatuh ke atas
wajahku. Dan saat kusibak pashmina itu untuk melihat apa lagi yang tersisa dari
dunia sekitarku, saat itu pulalah lubang itu mencapaiku yang akhirnya jatuh ke
dalamnya dengan teriakan yang hampir tidak kukenali lagi sebagai suaraku
sendiri.
***
“Sabah,
qumiy…[1]”
Samar-samar
kudengar seseorang berbicara di telingaku. Bahasanya lain, tapi anehnya aku
mengerti. Suaranya dekat sekali, lirih berbisik.
“Sabah,
bangun. Kau tidak boleh menyerah sekarang. Kau masih kuat. Ayo, Sabah, bangun.”
Suara
itu makin jelas di telingaku. Masih lirih, masih berbisik.
“Sabah,
buka matamu. Perjalanan kita masih panjang, para Syaikh menunggu hasil dari
perjalanan kita.”
Perlahan
kelopak mata kananku terangkat, lalu kelopak mata kiri pun turut membuka.
Sebentuk wajah berkerudung hitam samar terlihat dalam kabut. Lalu kabut itu
menghilang sedikit demi sedikit dan akhirnya aku dapat menangkap seutas senyum,
sepasang mata tirus yang merah, dan sepasang pipi putih yang basah.
“Sabah,
akhirnya kaubangun juga.”
Dia
menatap kepadaku ketika berbicara. Aku heran, mengira-ngira apakah gadis ini
salah mengira bahwa aku adalah Sabah-nya.
“Afwan, Ila man tatakallamtiin? Lastu Sabah,
ukhti[2].”
Hanya
hafalan Quranku yang masih di bawah standar yang membuatku gagal mendapatkan
beasiswa ke Al-Azhar bulan lalu, tapi nilai setiap mata kuliahku selalu minimal
B, cukup bekalku untuk bercakap-cakap dengan setiap dosen Tarbiyah Bahasa
Arab-ku dengan baik dan benar.
“Maksudmu?
Kau jelas adalah Sabah. Kita sedang dalam sebuah misi, ingat? Mana mungkin aku
salah mengenalimu sementara kita bersahabat sedari kecil. Lagipula lihat tali
ini,” katanya sambil menujukkan pergelanan tangan kanannya yang ada simpul tali
tambangnya, “Tali ini masih mengikat tanganku dan tanganmu semenjak kita
beranjak meninggalkan Gaza tadi pagi-pagi sekali. Kau yang malah mengusulkan
begini, agar jika perlu berlari, kita tidak akan terpisah karena tali ini akan
membuat kita selalu bersama-sama, sesuai instruksi para Syaikh. Kita akan harus
bermusyawarah menentukan arah perjalanan selanjutnya sebab simpul tali ini mati
jadi kita tidak bisa pergi sendiri-sendiri.”
Gaza? Syaikh? Misi? Kucubit pipiku,
sakit. Berarti bukan mimpi. Tapi tentu saja ini tidak nyata. Aku adalah orang
Aceh tulen yang seumur-umur tak pernah keluar dari Nanggroe. Jangankan Gaza di Palestina, Meulaboh yang merupakan
daerah asal ibuku saja belum pernah kujejaki derai pasir pantai yang menghadap
samudera-nya. Bagaimana jika ini sebuah delusi? Ya, kurasa delusi adalah
penjelasan paling logis. Mungkin aku terhempas ke dasar lubang menganga yang
menelanku tadi. Dan karena belum siuman, aku sedang tenggelam ke dalam alam
bawah sadarku. Ya, akui saja bahwa aku adalah Sabah. Dalam pikirku, sebentar
lagi aku juga sadar. Meski aku juga tidak yakin kapan aku benar-benar bangun
dari kehidupan asing sebagai Sabah ini.
“Di
mana kita sekarang?”
Gadis
itu mendongak. Bola matanya sayu bergerak enggan sembari menoleh ke kanan dan
ke kiri. “Entahlah, Sabah. Mungkin aku memasukkan koordinat yang salah di
lorong dimensi tadi. Kurasa kita tersesat dan terhempas ke mari. Maaf, kepalamu
sampai terbentur tanah begitu tadi, untung tidak berdarah, kan?”
Delusiku
ini luar biasa canggih ternyata. Ada lorong dimensi-nya! Lengan dan jemari
kakiku keram namun aku tetap mencoba bangkit untuk duduk. Kuedar pandangan ke
tiap penjuru. Gelap sekali. Hanya ada satu bohlam putih di atas kepala kami
yang bertengger di langit-langit balai tempat kami duduk sekarang. Hanya siluet
beberapa batang pohon kelapa di sekitar tertangkap mataku.
“Ah
Sabah, kurasa aku telah membuat kita tersesat. Padahal dana kita sudah mulai
menipis sementara perjuangan masih sangat panjang. Apa yang harus kita lakukan
sekarang?”
“Kurasa
ini sudah hampir fajar, kita duduk dulu di sini sampai matahari terbit.
Bagaimana?” Aku tidak yakin dengan solusi yang kuberi. Aku hanya ingin mengulur
waktu agar dapat mengorek informasi tentang ‘delusi’-ku ini.
Gadis
itu mengangguk tanpa mengangkat sorotnya dari tanah.
“Dan
kurasa aku melupakan beberapa hal tentang perjalanan kita. Bisakah kauceritakan
lagi tentang misi kita ini?” kuharap umpanku mendapat pancingannya.
Gadis
itu menarik nafas panjang dan berat. “Jangan-jangan kau juga lupa namaku,
Sabah?” Ia memandangku iba. Aku menelan ludah. Aku benar-benar bingung hendak
berkata apa. “Ah, mungkin itu efek lorong dimensi. Baik, aku adalah temanmu
sejak kecil, Sama, ingat?” Ia menyenyumiku. “Kita diutus ke Indonesia untuk
mengumpulkan dana dari saudara-saudara kita di sana. Tadi kan sudah kubilang,
dana kita makin menipis. Asupan dana yang dulu sempat banyak dari
saudara-saudara kita di negara-negara lain kini menurun drastic jumlahnya.
Sementara Israel biadab itu makin mendesak kita. Hanya pasukan penjemput syahid
saja andalan utama kita sekarang. Rudal-rudal kita sudah banyak yang usang dan
belum bisa didapatkan pengganti atau perbaikannya.”
Aku
melongo. “Pasukan penjemput syahid katamu tadi, Sama?”
Sama
yang sedang menelekan dagunya di atas kedua lutut yang ditekuknya menoleh ke
arahku. Aku baru sadar biji matanya hijau.
“Ya.
Seperti kakakmu yang selalu kaubanggakan itu.”
Sama
kembali menyenyumiku. Tapi kali ini ada gurat kehampaan dan kesan menerawang
dari kedua cermin bundar milik wajah berhidung bangirnya itu. “Kautahu,” Sama
menyambung perkataannya, “Ia memang lebih pantas mendapatkan 70 bidadari sekaligus
daripada sekedar seorang istri sepertiku. Kau benar, Sabah, ia selalu lebih
dari patut untuk dibanggakan oleh setiap orang.”
Ada
yang menyikut dari balik dadaku. Meski aku yang tak beradik-kakak ini sudah
terlalu biasa menjalani hidup dengan kehilangan akan saudara kandung yang
abadi, kurasa aku bisa merasakan apa yang Sama rasakan.
“Ya,
ia adalah pria yang baik.” Aku makin lihai mengikuti alur cerita ini. “Dan
Allah tentu sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih baik untukmu, Sama. Misi
ini contohnya.”
Sama
kembali menyenyumiku. “Kau benar. Sudah lama aku ingin ke Indonesia, menjumpai
langsung saudara-saudara kita di sana. Dulu, aku sering diceritakan bagaimana
mereka menggalang dana untuk perjuangan kita sampai-sampai ada yang rela menjual
semua perhiasannya demi Al-Aqsha. Sajazahumullahu
khair, insya Allah[3].”
“Tapi
kini berbeda. Entahlah, belum ada yang bisa memastikan alasan mengapa mereka
tidak lagi seantusias dulu dalam menyokong perjuangan kita. Maka itu kita
diutus untuk mencari tahu sekaligus menggalang dana semampu kita dari mereka.”
Sebuah
bumerang seperti mendentumkan diri ke keningku.
“Mungkin
karena negeri mereka sedang dalam masalah yang jauh lebih besar dari yang kita
hadapi. Kita harus selalu berbaik sangka pada mereka, bukan?”
Sama
menatapku sejenak lalu berkata, “Atas dasar ingin memelihara sangkaan yang
baiklah maka itu kita harus tahu alasan pastinya mengapa mereka, harapan
terakhir kita dalam menyokong perjuangan agama Allah ini, kita harus datang ke
sana, Sabah. Bukankah begitu kata Syaikh sebelum kita berangkat?”
Aku
bungkam sambil berpikir untuk kata-kata selanjutnya. Takut sekali salah
berbicara pada Sama yang garis wajahnya tegas ini. Membuat Ain berkaca-kaca
tadi pagi sudah cukup memberikanku pelajaran untuk hati-hati menyampaikan
pendapat.
“Dan
jika memang benar mereka punya masalah yang jauh lebih besar dan tidak bisa
kita harapkan sumbangan dananya, bagaimana, Sama?”
Sama
duduk bersila kini. Ia tegap menatap gelap. Dan untuk yang kesekian kalinya, ia
kembali senyum.
“Maka
Allah akan mendatangkan bantuannya lewat jalan lain dengan cara-Nya sendiri
seperti yang selama ini kita dapatkan. Ah, jika bukan karena Allah yang
menjagaku, siapa lagi yang bisa memastikan aku bisa tumbuh sampai berusia dua
puluh begini?”
Aku
menerka-nerka keadaan orangtuanya. Mereka sudah lama dipanggil ke haribaan-Nya,
kurasa.
“Mereka
tidak mati, Sama. Mereka hidup selamanya dalam semangat perjuangan. Bukankah
begitu?”
Sama
mengangguk. “Ummiy, Abatiy[4],
mereka menghadap Allah dalam wewangi kesturi. Begitu juga dengan ribuan
adik-adik kita yang diburai rudal saat sedang melempari tank musuh dengan batu.
Tak jauh beda dengan guru-guru madrasah kita yang semasa hidupnya tetap
mengajari kita nasyid-nasyid perjuangan sementara matanya buta dicongkel
tentara terkutuk busuk itu. Dan lebih wangi lagi bagi mereka yang menggadaikan
masa muda mereka bersama bom yang meliliti perut demi pembebasan negeri kita.”
Tiba-tiba
aku terusik untuk bertanya, “Sama, tanggal berapakah ini?”
“Saat
kita berangkat, 14 April 2030. Aku tak tahu apakah kita masih di tahun yang
sama atau tidak. Lorong dimensi bisa saja mendamparkan kita ke masa lalu atau
masa depan.”
Jantungku
meronta ingin lari dari singgasananya. Masa depan. Delusiku berlatar belakang masa
depan! Di mana Ain dan kawan-kawannya yang selalu menyisihkan uang kiriman
orang tuanya untuk Palestina? Di mana para aktivis yang sering kulihat di
televisi menggalang dana untuk korban-korban perang di penjuru dunia? Di mana
Michael Heart, Yusuf Islam, dan musisi-musisi lain yang dulu selalu
menyumbangkan royalti dari lagu-lagu mereka untuk bumi merah saga Al-Aqsha?
“Sabah,
aku sempat mengira fenomena ini ada hubungannya dengan tokoh HAM di Indonesia
itu. Bagaimana menurutmu?”
Aku
kernyit. Tokoh HAM yang mana?
“Cut
Erina Melanita. Bukankah ia terkenal dengan teorinya “Membangun Diri Sendiri
Saja” itu? Bukankah ia yang selalu mengajarkan orang lain untuk fokus
memperbaiki diri sendiri masing-masing saja dan tidak usah meributkan urusan
orang lain apalagi negara lain? Pribadi egois!”
Meski
yang bernama Cut Erina Melanita itu bisa jadi siapa saja, tapi entah mengapa
aku merasa aku lah sang tokoh HAM yang sedang dicap egois oleh Sama.
“Dan
dengan bangganya ia menggunakan hijaab dan masih mengaku muslim. Apa ia sudah
lupa bahwa muslim itu seolah-olah satu tubuh, sehingga jika ada satu anggota
tubuh yang sakit, seharusnya bagian tubuh yang lain seharusnya juga merasakan
tidak enaknya sakit itu? Dan menjijikkannya lagi, ia mendapatkan penghargaan
dari sebuah asosiasi psikologi internasional atas teorinya tersebut. Cih, tentu
saja Yahudi itu senang dengan teorinya dan memberi penghargaan, kita kaum
muslimin jadi terkotak-kotak dan makin hari makin berai!”
Aku
ingin sekali menelan ludah tetapi seolah ada sebutir jeruk nipis menyumbat di
tenggorokan. Tiba-tiba aku merasa bersalah, sangat malah. Meski menurutku kita
harus lebih memprioritaskan permasalahan dalam negeri, tapi aku tetap percaya
bahwa masalah Palestina itu adalah masalah yang mendunia; seluruh penduduk
dunia harus tahu dan memberi solusi meski sedikit. Aku sama sekali tidak
menginginkan Palestina ditinggal begitu saja, tidak pernah. Dan jika memang
benar Cut Erina Melanita, sang tokoh HAM di tahun 2030 itu adalah aku, maka aku
lebih dari rela jika ia – alias aku – dilempari
granat sekarang juga!
“Ah,
Sabah, mari kita doakan agar saudari kita, tokoh HAM itu segera taubat.”
Belum
lagi kuangkat tangan, tiba-tiba tanah di bawah kaki kami berguncang dengan
dahsyat. Bohlam di langit balai-balai putus dari tangkainya dan pecah menabrak
tanah. Gulita. Hanya indera dengarku saja yang masih menangkap teriakan takbir
Sama. Tali yang mengikat kedua pergelangan tangan kami meregang kencang. Aku
mual dan kakiku keram. Aku tak sanggup lagi berkata-kata sementara tanah makin
berderak. Sama terus bertakbir sementara aku makin melemah. Lalu pelan tapi
pasti, guncangan tadi menenang.
“Sabah,
di mana kau? Kau baik-baik saja?”
Sama
menelusuri tali di pergelangan tangannya hingga ujungnya di pergelangan
tanganku. Ia meraba keningku. “Panas. Kau demam. Ya Allah, apa yang harus
kulakukan? Tas perlengkapanku sepertinya tertinggal di lorong dimensi saat
terhempas tadi.”
Belum
lagi Sama membantuku bangkit dari baringku, sayup-sayup aku mendengar gemuruh.
Makin lama gemuruh itu makin terang. Seperti bunyi pesawat yang hendak
mendarat. Bising. Sebelum pasti kuterka gemuruh itu apa, aku dan Sama sudah
dihantam sesuatu yang basah dan besar dan mendadak semua terasa hitam.
***
“Sabah,
qumiy…[5]”
Lalu
aku terjaga dan langsung terduduk. Matahari garang tepat di tengah langit. Sama
juga duduk di samping kiriku. Tali tambang yang mengikat tangan kami masih
erat.
“Kurasa
kita sedang di Aceh, Sabah. Lihat papan nama toko itu.”
Sama
menunjuki sebuah toko sementara aku lebih tercekat melihat mesjid yang ada di
depan toko tersebut. Mesjid kebanggaan siapa saja yang mengaku berasal dari
Serambi Mekah. Mesjid berkubah-kubah hitam yang berulang kali dibakar dan
dikuasai Belanda namun selalu direbut kembali. Mesjid yang, selama
berpuluh-puluh tahun, selalu diperjuangkan kehormatannya oleh kaum muslimin
Aceh.
Dan
mayat-mayat gelimpang di sekitar kami. Wajah-wajah mereka hitam.
Pakaian-pakaian mereka tersibak. Kaku. Mereka mayat dengan pose-pose yang aneh;
ada yang mengangkang, tangan meregang, kepala tiada, dan ah, wanita yang tengah
melahirkan pun ada. Pemandangan ini familiar. Melemparkan aku pada bencana yang
dulu merenggut ibu dan ayahku.
“Sabah,
kurasa kita harus menekan tombol emergency ini.”
Kutoleh
Sama. Wajahnya kabut sementara tangan kanannya menunjuki sebuah tombol merah di
pergelangan kaki kirinya.
“Untuk
apa?” tanyaku.
“Untuk
kembali ke Gaza saja. Kita harus segera melakukan sesuatu untuk Aceh.”
“Maksudmu?”
aku tidak paham sama sekali.
“Ya,
mengumpulkan koin-koin yang ada di kamp pengungsian untuk kita kirimkan ke
mari, seperti yang pernah dilakukan oleh nenek-kakek kita dulu di tahun 2004.
Misi kita sudah selesai, ternyata kau benar, Indonesia memang punya masalah
besar.”
Sebelum
aku sempat menggertak Sama bahwa tsunami bukan apa-apa dibanding kekejaman
Israel durhaka, aku seperti dihisap ke dalam tanah dan semua kembali terasa
hitam.
“Rin,
maaf membangunkanmu. Aku berangkat dulu, pinjam sepeda motormu, ya?”
Ain.
Kini Ain yang ada di hadapanku. Bukan lagi Sama. Bukan lagi dengan misi dari
Gaza.
“Ain,
mau ke mana?”
Ain
kerut keningnya sambil berkata, “Tadi malam kan sudah kuceritakan, ada aksi
solidaritas untuk Palestina di depan Mesjid Raya Baiturrahman hari ini. Katamu
kamu mau di rumah saja dan aku boleh kupinjam sepeda motormu seharian.”
Tiba-tiba
mataku panas. Aku teringat Sama. Aku teringat Gaza. Aku teringat Palestina. Aku
teringat Al-Aqsha. Dan aku teringat Cut Erina Melanita. Aku tak mau 2030 nanti
seperti dalam mimpiku tadi.
“Rin,
ada apa? Kenapa tiba-tiba menangis? Ada masalah?” Ain meraih selembar tissue
dari meja di samping tempat tidurku dan menyapu pipiku. Wajah gundahnya makin
mengingatkanku akan Sama.
“Ain,
tunggu aku.” aku hampir tidak mengenali isakanku sendiri, “Aku ikut denganmu.
Lamkeunung, 14 April 2010
No comments:
Post a Comment