Dalam negeri ini ada satu kota
Di mana kupu-kupu bersayap permata
Pendar sahaja binar pelita
Tiada gang yang sudi gulita
Dalam kota ini ada kita
Burai terali dalam cahaya
Mahligai abadi tanpa mantera
Kau kasih, aku terima
Dalam kita ada cerita
Yang jalari dedahan langit dan pintu angkasa
Penuhi dada dengan tamanna
Akan hidup sesuci-suci muara
Kita; tak ada cakap selain cinta
Cinta yang serenade penuhi bejana
Yang isinya kita ciprat cuma-cuma
Sorai suka, derai lara
***
Sementara kata-kata kita terus bertahta
Aku dan kau selalu suka cita
Bunda Yanda senantiasa restu wibawa
Kita – tentu saja – semai teduh di sawah-sawah tepi jantung kita
Lalu sebuah cahaya timur
Kau kerja, aku menganggur
Lalu jingga satu senja
Kau – harusnya – kembali, aku belanja
Kemudian begitu saja
Andalas kita bak dansa
Entah wortel entah mentega
Kutinggal semua, takut kau entah bagaimana
***
Kau ada di mana?
Kata mereka hadiri acara
Tapi di mana?
Mereka merunduk dan tak sambung apa-apa
Kau ada di mana?
Jantung, paru-paru dan rusukku tabrak sini-sana
Makin senja makin merana
Hilang akal musabab durja
***
Detik didesak menit diusir jam disodok hari
Aku tanpa henti mencari
Kau yang telah mencuri hati
Kan kucari, kan kucari
Selayang berita
Waktu itu kau ada di pesta
Sepasang jiwa ikat cinta
Kau diundang, tak kautolak itu pinta
Gegas langkah
Gopoh-gopoh bertanya
Alamat yang helat acara nikah
Setelah jawab mereka, udara dan kulitku bersenyawa
***
Bayangkan satu kota
Di dalamnya ada kita
Bagi kita mutiara, intan, permata
Semua jelma-jelma cinta
Di sana, bayangkan kita
Gelak dalam lembar-lembar tak dusta
Canda dalam renda songket mutiara
Gadang-gadang yang bercahaya
Kita; tak ada cakap selain cinta
Cinta yang serenade penuhi bejana
Yang isinya kita ciprat cuma-cuma
Sorai suka, derai lara
***
Ah, Kanda, imajiku berlari penuh gulana
Reguk titis-titis impi tanpa sebenar kita
Aku lukis padang rumput tanpa kata
Pelosoti pita-pita pelangi nirwarna
Kanda, apa ini durjana
Aku lihat tanah itu onggok segunung tutup acara
Bisu dan tuli pepohon tak cerita
Bahwa mungkin kau titip pesan satu saja
Kanda, lalu bagaimana?
Rumah kita reruntuh menganga
Aku dan kau tak lagi bersama
Baik kulelang bahagia pada Yang Punya
***
Yang Punya ingin titip hikmah berita
Pada tiap hilang-hilang kasih dan cinta
Yang muram yang nestapa
Begitu kata imam mesjid kita
Dulu di Banda
Sempat di Tasikmalaya
Beberapa ranah lain jua ada
Kini di Pariaman kita
Apa, kita ini mungil kerdil daya tiada
Mungkin ada beberapa kita
Yang punya sajadah-sajadah tapi lupa lipat di mana
Begitu kata imam mesjid kita
Apa, kita ini kecil-kecil bertingkah pula
Terima kasih sering alpa dikata
Padahal Yang Punya selalu beri tak bisa dikira
Begitu imam mesjid kita sambung bicara
Apa, kita ini buih-buih semata
Limpah di pantai atau selam dengan gurita
Acap tepuk dada untuk beberapa perkara
Minta ampunlah dan berdoa, imam mesjid akhiri kata
***
Aku tolak gejolak saja
Pada tiap genggam yang kurindu pada tangan kita
Yang Punya, ya, Yang Punya
Dia yang punya rencana
Kanda, untung sajadah kita masih bersisa
Untung aku masih bisa eja a ba ta
Aku percaya syurga
Kurapal pinta pada-Nya agar kita sua di sana
Lebih dari itu biar tetap kusapa
Angin dan hujan di kota kita
Agar mereka tahu kau – sempat – kagumi mereka
Dan helai-helai puisi kautoreh demi segala rasa
Banda aceh, 17 Oktober 2009
Puisi ini terinspirasi oleh kejadian di mana 200-300 orang terkubur longsor ketika menghadiri resepsi pernikahan di sebuah restoran di Pariaman). Dimuat di antologi Sebilah Sayap Bidadari; Memorilibia 7.9 SR (Pustaka Fahima, Jogja).
No comments:
Post a Comment