Tiap kali Ramadhan datang, saya
selalu menemukan beberapa hal yang membuat hidup saya berbeda. Katakanlah ini lebay atau hiperbola khas seseorang yang
gemar memuisikan segala sesuatu, tapi saya sungguh-sungguh. Jika harus saya
paparkan satu persatu, tidak akan muat dalam satu blog entry saja; terlalu banyak dan kebanyakan adalah hal-hal yang
cukup disimpan sebagai memori manis milik pribadi.
Namun demikian, ada beberapa
Ramadhan yang benar-benar menjadi titik perubahan bagi saya. Secara kepribadian.
Secara kepenulisan. Secara keIslaman. Dan itu akan selamanya menjadi harta
karun berharga dalam ingatan saya yang sebagiannya akan saya paparkan di sini.
Ramadhan 1426 H (2004)
Tak akan saya lupakan seumur
hidup masa-masa di mana saya menghabiskan sebulan penuh di lingkungan Daarut
Tauhid di Bandung. Saat itu saya sekeluarga diboyong oleh ayah saya untuk
menemani masa studi S3 beliau di Universitas Pendidikan Indonesia di kota yang
sama. Kebetulan kami semua sedang libur sekolahnya, sehingga dengan jalur
darat, kami pun akhirnya tiba dan bermukim sebulan di kosan ayah kami yang
pas-pasan di Geger Kalong, Bandung. Alhamdulillah, sebab dulu ayah saya pernah
S2 di universitas yang sama dan menyewa kosan yang sama sehingga kami kenal
dekat dengan pemilik kosan, kami dipinjamkan satu kamar yang sedang kosong
sebab ditinggal pergi oleh penyewanya selama Ramadhan.
Dan di sanalah saya berkenalan
dengan yang namanya Daarut Tauhid. Di sanalah saya merasakan masa-masa di mana
rasanya hidup bisa begitu terasa tenang dan tidak menyusahkan hati sama sekali.
Di sana saya banyak terkesima; terkesima
oleh susunan sandal yang rapi dan runut teratur setiap kali saya hendak pulang
dari masjid. Terkesima akan kerapian dan kebersihan jalan-jalan di sekitar Daarut
Tauhid tersebut, semakin terkesima bila dibandingkan dengan jalanan di sekitar
kampus Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh yang ramai oleh ternak dan
kotorannya. Dan yang paling membuat terkesima adalah sebab saya bisa menemukan
stasiun radio yang memutar nasyid sepanjang hari; Manajemen Qolbu FM nama
stasiun radionya.
Di sanalah saya paham makna “Islam
itu untuk diterapkan, bukan untuk diteriakkan”. Dan sejak itulah saya tekad
untuk menjadi muslim yang lebih baik itu muncul dengan kuat dan membuat sesak
berhari-hari jika dipikirkan. Hasilnya? Sejak tahun 2004 itu, saya mulai
mengenakan jilbab tanpa melepasnya lagi jika ada non mahram di sekitar saya,
bahkan jika itu adanya di dalam rumah saya sendiri.
Ramadhan 1427-1429 H (2005-2007)
Ramadhan di negeri orang! Bukan cuma
di provinsi yang berbeda kali ini, tapi di negara yang sama sekali asing! Tahun
2004 akhir terjadi musibah tsunami, dunia pasti masih ingat. Namun eksesnya
adalah banyak beasiswa yang diberikan sebagai bagian dari bantuan pendidikan
pun jumlahnya ratusan. Termasuk ke dalam yang merasakan berkahnya adalah saya
sendiri, mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan SMA ke Australian International
Academy of Education (dulu sekolah ini bernama King Khalid Islamic College of
Victoria) secara cuma-cuma.
Luar biasa Ramadhan di kampung
(atau saya harusnya sebut…kampung-politan?) orang begitu. Tak ada seurunee yang menandai waktunya berbuka.
Tak ada orang jualan segala macam es dan risol-risolan di pinggir jalan untuk
berbuka. Tak ada keriuhan di jalan raya orang beramai-ramai jalan menuju ke
masjid untuk tarawih. Sunyi.
Belum lagi di tahun 2005,
Ramadhan masih jatuh di musim panas di sana. Saya ingat, di 4 hari terakhir
Ramadhan, imsak jatuh pada pukul 5’an pagi namun maghrib baru tiba pukul 8.30
malam! Bayangkan saja anak Lamkeuneung yang biasa puasa hanya 12 jam’an kini
harus hingga 14-15 jam! Benar-benar suatu ujian bagi keimanan. Alhamdulillah,
saya ingat waktu itu ibu angkat saya yang begitu relijius (beliau adalah
seorang muslimah yang sangat taat) begitu menyemangati hingga saya menjadi
semakin merasa Islam adalah jalan hidup yang sempurna. Semakin sempurna dalam
pandangan saya sebab bisa mengajarkan saya bagaimana menjadi seseorang yang
lebih bisa memaknai arti lapar, haus dan menahan hawa nafsu dalam makna umum
lainnya.
Di sanalah saya justru belajar
berdiri panjang untuk tarawih, sebab 1 juz habis dibacakan imam sepanjang
malam.
Di sanalah saya justru shalat
tasbih untuk pertama kalinya di malam ke-27 Ramadhan di salah satu masjid yang
letaknya tidak sedekat masijd-masijd yang ada di Aceh.
Di sanalah saya belajar I’tikaf.
Di sanalah saya shalat Jum’at
dengan syahdunya selama tiga tahun.
Di sanalah saya memutuskan bahwa “hijrah”
itu lebih dari sekedar memutuskan mengenakan pakaian muslim dan menutup aurat
dengan baik.
Di sanalah saya belajar bahwa
menjadi muslim itu butuh sesuatu bernama konsistensi dan ketahanan. Bahkan jika
ada yang mengejekmu dengan hijabmu, kau tetap senyum. Bahkan jika ada yang
mempertanyakan agamamu, kau bisa tetap menjawabnya dengan santun. Ada banyak
pengalaman terkait hal ini yang bisa dilihat di blog entry saya pada tahun 2007.
Menyesalkah saya mengambil
kesempatan itu? Tidak. Tidak sama sekali. Pada faktanya, sekembali dari sanalah
saya memutuskan mengikuti jalan tarbiyah
dan mencoba membaktikan hidup saya untuk dakwah yang lebih menyeluruh di
seluruh lini kehidupan. Hingga kini. Hingga nanti.
Ramadhan 1434 H (2013)
Masih istiqomah di jalan tarbiyah. Masih mencoba menghasilkan
tulisan (minimal update status dan twit yang bisa menebar kebaikan). Sedang menjalani
kepaniteraan klinik menjadi seorang dokter. Sedang mencoba menjalankan amanah
sebagai ketua Forum Lingkar Pena Aceh. Sedang menyelesaikan tulisan untuk
#FLPMengguncangRamadhan. Apa lagi yang lebih baik dari ini semua? Allah, terima
kasih atas Ramadhan yang kian indah dari tahun ke tahun. Ya Rahman, terima
kasih atas teman-teman dan keluarga yang semakin menguatkan dari tahun ke
tahun.
Namun dunia sedang banyak
prahara. Mesir bergejolak. Suriah terancam kedamaiannya. Palestina masih
terbelenggu oleh kesadisan jajahan zionis. Dunia masih belum sejuk seutuhnya. Tapi
kita di sini, mencoba menjadi bagian-bagian yang memulai perbaikan. Dari sini. Dari
pena yang insya Allah tak akan puasa menoreh kata dan pesan-pesan sepanjang
masa. Amin.
Allah, saksikanlah bahwa kami di
sini berlatih. Mungkin tidak untuk menembak menggunakan senjata. Mungkin tidak
untuk memperuncing bamboo untuk dilempar. Mungkin tidak untuk mengasah pisau
untuk menusuk musuh. Tapi untuk menembak kebodohan. Tapi untuk memperuncing
insting. Tapi untuk mengasah jiwa dan nurani yang hanya cinta dan membela yang
cinta kepada-Nya. Sekali lagi, amin. Dengan ini, kami luncurkan bersama,
#FLPMengguncangRamadhan. :)
Rumah Cahaya FLP Aceh, 5 Ramadhan 1434 H
Tulisannya indah seperti air mengalir dan uenak... (y)
ReplyDeleteIrinyaaaa bisa ikutan buka bareng, sayangnya gak bisa ikut. hiks
ReplyDeleteWah, gak nyangka kakak bisa nulis sampai sepanjang ini kemarin. Good!
ReplyDelete