Gurindam adalah gurindam. Ianya akan tetap berupa
larik-larik yang tak akan pernah padam. Dan kau, kutahu, akan terus berdendang
tentang gurindam. Menantang malam untuk lebih lama bertandang agar kau lebih
lama, oleh cahaya bulan, terendam.
Dan aku, adalah sebatang perdu yang sering kaupuisikan. Ya, hanya perdu, tapi
kau selalu menganggapku sebagai kekasihmu yang syahdu. kaubayangkan aku adalah
seonggok makhluk yang menitip cinta padamu. Menemani langkahmu sesetia langit
pada warna biru. Gurindam itu untukku, begitu sering kaumelagu.
Wahai penyair nan malang, kau harusnya lebih bisa
membersamai Minggu. Merendam kaki dalam danau atau sungai berbatu-batu. Rasakan
manisnya berjalan dalam tarian debu. Menapak-napaki langkah pada jembatan tanpa
jemu. Memandangi langit dan menceritakannya setianya ia pada biru. Begitu, dan
kau akan tidak lagi menganggap aku sebagai kekasihmu.
Namun kiranya, kesedihan berupa marijuana bagimu. Kau begitu merasakan manisnya
menderita hingga kau tak pernah mau mencoba memberi barang sebiji perubahan
apapun bagi dirimu. Kaubiarkan lukamu disembuhkan oleh luka yang lain. Kau
senang, bahwa kau leluasa mengungkap cinta yang tak akan pernah bisa kubalas
dengan kata. Candu. Begitu candu sehingga begitu kaujalani dari minggu ke
minggu.
Aku bingung denganmu, penyair. Bingung yang menyerupa kusutnya kumpulan benang
yang diaduk oleh binatang. Mengapa begitu sulit untukmu menikmati kenyataan
sementara aku, makhluk yang tak punya kesempatan berkelana ini, lebih dari rela
jika harus menukar hidupku dengan posisimu. Namun tetap saja, kau selayaknya
yang tuli dan yang bisu. Tuli sebab tak bisa hargai kicauan pagi burung kenari.
Bisu, sebab hanya pada aku dan batang-batang perdu lainnya kau berani bicara,
sementara pada manusia lain kau diam diam tanpa sedikitpun gugu.
Wahai penyair, tak kah kau ingin seperti sang pengembara? Yang senantiasa
bernyanyi tentang cinta di alun-alun kota? Yang senantiasa mendendang bebas
bersama jutaan Sahara?
Wahai penyair, atau tak kah kau ingin seperti sang tabib yang cendekia? Yang
senantiasa bercakap dengan sesiapa? Yang senantiasa berbagi penawar akan duka
dan luka?
Wahai penyair, tak kah kau ingin penamu bercabang pahala?
No comments:
Post a Comment