Kesehatan
dan Berbagai Visi Pencapaiannya
Sejak semester pertama kuliah di kedokteran (2008), saya ingat, saya sudah sangat difamiliarkan dengan macam-macam istilah yang menggambarkan visi kesehatan yang ingin dicapai, baik di strata daerah, nasional bahkan internasional. Untuk nasional misalnya, saya ingat saat itu saya sering dengar yang namanya “Indonesia Sehat 2010”. Jangan tanya saya apa kabar jargon itu sebab sudah 3 tahun berlalu dari 2010 dan saya sendiri masih meraba-raba ke arah mana pelayanan kesehatan di Indonesia ini akan dibawa. Berbagai prahara profesi terkait kesehatan pun malah bermunculan dan menimbulkan kontroversi sana-sini. Pasca mangkatnya menteri kesehatan yang terdahulu, hadirlah seorang menteri kesehatan baru yang belakangan, semakin membuat kontroversi meningkat sekian level dengan berbagai kata-kata dan program yang diunggulkannya. Yang jelas sudah menanti di depan mata untuk dilaksanakan ke depan adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai 2014. Apakah program ini untuk “Indonesia Sehat 2019”? atau “Indonesia-Akan-Tetap-Sakit-Namun-Visinya-Yang-Penting-Dibuat-Saja-Sehat-Dulu 2030”? Kita tunggu saja tahun berlalu kemudian jargon berganti lagi.

Kofi Annan, sekjend PBB, berkata, “Bukanlah
dalam PBB pencapaian MDGs ini akan diraih, melainkan oleh setiap negara dengan
upaya-upaya yang terintegrasi dengan pemerintah dan masyarakat.”. Dari kalimat
tersebut kita pun akhirnya mengerti, bahwa tiap negara harus menentukan
upaya-upaya yang melibatkan masyarakat dalam mewujudkan poin per poin dari MDGs.
Dan seperti yang sudah dipaparkan, ada beberapa pecahan target yang harus
dicapai per 5 tahun, dan yang paling dekat adalah target tahun 2015 yang bisa
dilihat secara lengkap di website resminya (http://www.un.org/millenniumgoals).
Dari semua target inilah nantinya, setiap negara yang tergabung ke dalam PBB
akan merumuskan program-program untuk menopangnya. Ada 8 poin dalam MDGs. Menariknya,
setengah dari MDGs, yaitu poin nomor 1, 4, 5, dan 6 merupakan ranah-ranah yang
terkait langsung dengan dunia kesehatan. Inilah mengapa, bagi seorang mahasiswa
di bidang kesehatan, baik kedokteran, keperawatan, kedokteran gigi dll, wajar
jika mereka dihujani berbagai teori mengenai bagaimana mewujudkan MDGs. Adapun keempat
poin MDGs tersebut meliputi menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, menurunkan
angka kematian balita, meningkatkan kesehatan ibu, dan memerangi HIV/AIDS,
Malaria, dan penyakit menular lainnya.
Apa
yang Global dan Apa yang Lokal (?)
Menyambung kisah perkuliahan saya di
fakultas kedokteran sejak 2008 (hingga kini sedang dalam tahap kepaniteraan
klinik), ada satu motto yang terus diulang-ulang oleh dosen, rekan
seorganisasi, dan teman-teman dari berbagai komunitas terkait kesehatan terkait
MDGs. Katanya, kita harus “Think Global, Act Local.”; bahwa kita harus bisa
berpikir dengan skala masalah secara makro namun menyelesaikan masalah dengan
ketelitian jenis mikro. Sepakatkah saya dengan motto tersebut? Sangat! Sebab salah
satu kualitas kepemimpinan yang diajarkan dalam agama saya juga demikian, yaitu
tidak menutup diri dari berbagai “strategi” dari luar kebiasaan selayaknya
Rasulullah SAW menerima taktik membuat parit dari Salman Alfarisi dalam Perang
Khandaq dengan tangan terbuka. Untuk lalu parit dibuat hanya mengitari setengah
saja dari kota Madinah, itu adalah bagian kedua dari motto di atas;
memperlakukan strategi yang berlaku “global” dengan penyesuaian terhadap
kondisi “local”. Bagaimana tidak, sebagian dari kota Madinah dikelilingi
bukit-bukit batu nan terjal yang tak mungkin diruntuhkan “cuma” untuk parit. Hal
ini membuat parit hanya digali di area lapang yang meski tanahnya tetap
berbatu-batu namun tidak sekeras bukit-bukit di sisi lain dari kota tersebut. Dengan
tujuan melindungi kota dari serangan musuh yang tiba-tiba, sebagian teknik dari
negeri asal Salman Alfarisi digunakan namun tetap tanpa memaksakannya pada
topografi kota yang tak mungkin diubah.
Adalah suatu bencana jika kita justru tidak
menyikapi motto di atas dengan konsisten. Misalnya saja, jika pikiran terlampau
global, sehingga tindakan kita pun jadi “global-globalan” dan tidak lagi
menyentuh sisi kelokalan. Di luar negeri, hal tersebut bagus, lantas di negeri
sendiri pun kita harus mengadaptasinya bulat-bulat. Di negeri orang, programnya
seperti ini, maka di Indonesia juga harus begitu. Agar tak kalah modern. Agar bisa
cepat memenuhi target MDGs. Dan begitu seterusnya. Inilah dia yang paling
dikhawatirkan. Bukannya fokus dengan target yang ingin dicapai, kita malah stuck di “ingin terlihat sama modern”-nya.
Pekan
Kebodohan Nasional
Dalam hal inilah, saya merasa Pekan
Kondom Nasional (PKN) 2013 adalah sebuah produk turunan MDGs poin ke-6 yang
gagal melokalkan diri. Berdasarkan target MDGs terkait poin ke-6 yang harus
dicapai pada tahun 2015, beberapanya adalah;
· Kasus
baru HIV terus menurun di kebanyakan daerah.
· Lebih
banyak yang bisa hidup dengan HIV karena lebih sedikit yang meninggal sebab
penyakit terkait AIDS dan jumlah besar dari infeksi baru dengan 2.5 juta orang
terinfeksi tiap tahun harus bisa dihentikan/diturunkan.
· Pengetahuan
yang komprehensif tentang penularan HIV pada kaum muda, termasuk penggunaan
kondom tidak boleh lagi rendah.
· Lebih
banyak anak-anak yatim/piatu sudah harus disekolahkan atas upaya yang
berekspansi untuk memitigasi efek dari AIDS.
Ya,
kita punya tanggung jawab untuk menurunkan angka kasus baru orang yang
terjangkit oleh HIV. Ya kita harus memastikan obat ARV (Anti-Retro Virus) lebih
bisa disosialisasikan penggunaannya pada penderita HIV sehingga kualitas
hidupnya bisa lebih baik dibanding jika tidak mengonsumsi obat, sehingga
infeksi opportunistic (yang biasanya berakhir dengan kematian) yang lazim
terjadi sebab imunitas penderita menurun drastis, bisa dihindari. Ya kita harus
memberikan pendidikan yang baik tentang bagaimana HIV itu ditularkan, termasuk
apa itu kondom (beserta pendidikan seksual sesuai usia). Ya kita harus
memastikan anak-anak tanpa orang tua tidak mengalami sexual abuse sehingga tidak semena-mena terjangkit HIV.
Tapi kita yang lebih tahu tentang bagaimana
memenuhi semua target itu, kan? Mengapa harus membesar-besarkan seperdua dari
satu dari 4 poin yang ngomong-ngomong, baru seperempat dari target di bawah
poin ke-6 saja dari MDGs; kondom? Dan mengapa pula harus dibagi-bagikan secara cuma-cuma
kepada generasi muda? Memangnya dengan memberikan kondom dengan edukasi
seadanya sambil bagi-bagi sembali keliling kampus dengan bus bergambarkan model
seronok kontroversi itu lantas orang-orang akan berpikir, “Aha! Ini untuk
mengurangi angka HIV/AIDS!”. Bukannya yang malah melintas dalam pikiran mereka
justru, “Aha! Asyik dapat stok sebulan penuh gratis, bisa ‘jajan’ di beberapa
orang nih!”. Ya, kehidupan seks mereka jadi lebih “aman”, meski efektifitas
dari kondom itu sangat kecil apalagi jika pemasangannya tidak “tepat waktu”
atau “tidak seperti seharusnya” atau bahkan “terlupa” sebab terlalu “lena”. Tapi
bagaimana nasib istri-istri mereka di rumah? Apakah mereka pantas mendapatkan
suami-suami yang sudah terjangkit HIV? Apakah mereka pantas mendapatkan sesuatu
yang bukan hasil kesalahan mereka? Bagaimana dengan anak-anak mereka nantinya?
Sesempit diameter kondom itulah
pikiran mereka yang berpikir PKN ini adalah solusi tertepat untuk
dibesar-besarkan. Mengapa alokasi dana untuk sepekan bagi-bagi sekotak karet
pembungkus kemaluan laki-laki itu dialihkan ke Pekan Peduli HIV/AIDS saja,
misalnya? Betapa LEBIH MENGKHAWATIRKAN
sebenarnya masalah DISKRIMINASI
terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dari masyarakat yang “normal”, mengapa
tidak dana yang sama dialihkan untuk kampanye merangkul ODHA kembali ke dalam
masyarakat? Mengapa tidak kita fokuskan kembali ke perbaikan nilai-nilai
keluarga? Mengapa tidak menjadi jembatan bagi keluarga-keluarga yang retak dan
membuat anak-anak semakin tak terkendali? Mengapa tidak melakukan pendekatan
pendidikan seksual pada remaja dengan bahasanya tanpa harus membagi kondom bak
permen di tengah Halloween di Amerika sana?
Setiap tahun, sejauh ini, kasus baru
HIV masih meningkat. Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya sejak dulu pun
angkanya sudah tinggi, namun baru sekarang terdeteksi, sehingga jumlah kasus
baru tetap saja tinggi. Pertanyaannya, apa jaminannya bahwa justru sebenarnya
itu benar-benar representasi kasus baru semua? Bahwa PKN yang sudah dilakukan
setidaknya 3 kali itu adalah “pembuangan anggaran di akhir tahun” belaka? Apa jaminannya
niat awalnya adalah pengejawantahan MDGs dan bukan sebab “mahar” dari
perusahaan pemroduksi kondom yang menjadi sponsor tidak bisa dihitung angka “0”-nya
dengan jari tangan? Apakah ini aksi sosial sesosial-sosialnya? Ataukah ini
adalah satu lagi intrik politik nan ekonomik yang kadung menjadi budaya
mengakar di negeri ini?
Bangun dan cerdasi fenomena ini, wahai
Indonesia. Kita lebih berharga dari sekedar jaringan reptile terbungkus plastic
bernama kondom. Kita adalah manusia yang punya banyak organ lain yang lebih
bisa dipakai untuk mengontrol tindakan. Ada yang namanya otak. Dan ialah
pengontrol utama dari segala tindakan pada tubuh kita. Ialah yang seharusnya
dilindungi. Ialah yang seharusnya diberikan prioritas khusus. Apa pendidikan di
negeri ini sudah maksimal? Apa jaminan ekonomi sosial sudah diberi bahkan ke
daerah paling periferi? Lingkaran setan masalah bangsa ini bisa dicoba putuskan
dari sisi mana saja, tapi pantang hukumnya jika sampai harus membodohi warga.
Ada 6 agama yang diakui di Indonesia,
dan saya yakin kesemua agama punya visi yang sama tentang keluarga sebagai
salah satu hal yang seharusnya membahagiakan. Di kesemua agama, saya juga yakin
ada plot untuk pernikahan sebagai salah satu upacara sakral. Saya lebih dari
yakin pula, bekal keyakinan yang dijamin oleh undang-undang ini, jika diberi
perhatian dan promosi khusus bisa memberikan setidaknya tawaran “pembatasan
pasangan seksual”; salah satu yang diharapkan bisa diterapkan dalam mencegah
penularan HIV. Okelah anda tidak suka bicara agama, tidakkah budaya ketimuran
kita cukup menjadi landasan mengapa kita lebih memfokuskan pada perbaikan
pribadi dan moral? Bisa. Saya yakin sekali lagi, bisa. Kita cuma belum berpikir
cukup keras dan cukup kreatif untuk menuangkannya dalam program-program yang
bisa diarahkan menuju ke sana.
Dan masih banyak solusi lain. Silakan anda
tambahkan komentar anda di sini. Mungkin kita bisa buat gagasan bersama. Kita susun
yang rapi. Kita cetak dengan kaver tebal. Tinta emas kalau perlu. Lalu di
halaman persembahan spesial kita tulis, “Untuk Bu Menkes yth di tempat, jangan
bunuh bangsa ini PELAN-PELAN.”
Banda Aceh, 1 Desember 2013 2:44 WIB